temanku tersayang.

Malam sebentar lagi menjadi pagi, walau seperti itu aku belum bisa memejamkan mata. Bintang-bintang bertebaran dimana-mana, seakan memanggil keinginan biologisku untuk menontonnya, seolah mereka tahu bahwa aku suka melepaskan segala gundah gulana ketika aku menyaksikan tingkah polah mereka. Sedangkan bulan malam ini pun tak kalah romantis. Dia dengan anggunnya seakan menatapku. Ah, seandainya ilmu pengetahuan tak memberitahukanku bahwa bulan itu penuh lubang, aku mungkin jatuh cinta padanya. Langit yang seperti itu begitu tampak indah teman, ada kalanya langit memang begitu indah dikala malam meski kadang juga terlihat mengerikan ketika kumulonimbus, awan menyebalkan itu, datang. Tapi tidak untuk malam ini, aku melihat begitu luaslangit. Langit yang seperti itu siap meredam segala sesuatu yang tak dapat kita tanggung. Dan segala sesuatu yang tak dapat aku tangung adalah ketika tiba-tiba aku memikirkan kalian.

Teman temanku tersayang.

Entah apa yang membawaku memikirkan kalian malam ini, dibawah tatapan bulan ini. Tiba tiba saja aku merasa harus menuliskan sesuatu sebagai ungkapan kejujuranku bahwa aku sangat menyayangi kalian. Rasa sayang ini seakan menarikku, membawaku mengingat segala hal yang pernah kita jalani bersama. Hatiku seperti melontarkan sesuatu yang tidak aku mengerti, melaju naik ke ubun-ubunku dan menjelmamenjadi rol film hitam putih yang mengulang segala bentuk hal teraneh, tergila sampai terkadang kelewat tidak terhormat yang tentu mengakibatkan kemarahan-kemarahan para guru-guru yang, entah apa alasannya, selalu sukses kita tertawakan. Rol film hitam putih itu ternyata sanggup memberikan spektrum lain yang kita rasakan, tidak sehitam dan seputih gambar visual yang ditayangkan, spektrum yang lebih berwarna itu justru datang dari tingkah polah diri kita masing-masing, yang selalu berhasil membuatku tertawa dan kadang tersipu malu, oh betapa lugunya masa-masa dulu.

Teman temanku tersayang.

Seringkali aku berpikir tentang diri kita dimasa datang, pemikiran yang mungkin saja juga kalian lakukan sebagai renungan-renungan malam sebagai imunisasi harapan-harapan yang kalian buat. Akankah yang akan terjadi kepada kita nanti adalah sebuah refleksi dari apa yang kita lakukan sekarang? Ataukah itu malah menjadi hal percuma dan, jika mungkin boleh lebih kasar, menjadi kesia-siaan yang boros? Aku tidak mengerti harus menjawab apa. Apakah kalian mengerti? Aku rasa juga kalian tidak mengerti, yang kita tahu hanya melakukan sesuatu hal dengan sangat jujur dan disertai tanggung jawab yang tinggi dan konsistensi yang sekuat pasak bumi1. Setelah itu, inilah kenapa, yang baru-baru ini aku sadari, Tuhan itu ada dan pasti satu (bukan berarti dahulu aku tidak mempercayai ke-Adaan Tuhan dan ke-Esa-anNya, aku hanya baru sadar bahwa ternyata akhir dari perjuangan manusia ada di Tangan Tuhan) tindakan terakhir yang harus kita lakukan adalah tawakal, berserah sepasrah pasrahnya kepada kekuatan Maha Dahsyat tersebut.

Teman temanku tersayang.

Jika melihat rubik 3×3 yang aku miliki, karena memang cuma jenis rubik itu yang aku punya sekaligus cuma jenis itu juga yang bisa aku selesaikan, aku teringat bahwa hidup itu, jika dipikirkan sesederhana kita memainkan rubik, seperti permainan rubik itu sendiri. Dimana 54 cube-cube kecil bewarna acak; merah, biru, kuning, orange, hijau dan putih, yang masing-masing warna itu jika dilakukan tindakan menggeser dan memutar secara logis akan berakhir dengan berkumpulnya cube yang berwarna sama, hingga akan terlihat betapa sebenarnya begitu indah rubik itu jika pada kondisi tersusun rapi. Namun tidak jika kita memutar-mutar cube-cube kecil itu tanpa logika dan tanpa alasan yang tepat, jalan yang mudah yang hanya mungkin membutuhkan beberapa menit saja, dalam beberapa acara rekor dunia di TV bahkan ada yang mampu menyelesaikanya dengan hitungan detik, untuk menyelesaikanya akan butuh berjam jam bahkan sampai berhari hari lamanya. Mungkin demikianlah hidup, jika kita mengisi kehidupan ini dengan tindakan logis dan dengan alasan yang tepat, maka akan serasa mudah kita menjalani kehidupan ini. Namun tidak jika kita menjalaninya tanpa tindakan yang tepat, secara logis maupun tidak, mungkin akan terasa sangat sulit bagi kita untuk menjalani kehidupan. Tapi teman, sayangnya hidup itu tidak sesederhana jika kita memainkan rubik. Ada hal-hal yang tak terjangkau oleh logika dan naluri kita sebagai maluk hidup. Ada batas dimana akal kita berhenti bekerja jika memikirkan kematian, adanya kehidupan itu sendiri dan tentu saja Tuhan.

Ah, teman temanku tersayang.

Apa bila membicarakan kematian, aku jadi teringat dengan tujuan kenapa aku tulis surat ini untuk kalian, teman temanku tersayang. Teman-temanku tersayang, selama ini aku sudah begitu jauh dari rumah, aku merasa begitu letih berjalan terus menjauhi rumah. Walaupun terkadang aku bingung sendiri mendefinisikan apa pengertian rumah. Rumah itu adalah tempat dimana hatimu berada, kata seorang penulis yang mengutip dari sebuah buku. Aku pikir juga begitu. Walau tidak selalu. Terutama jika aku sedang bingung menentukan dimana nanti letak hatiku berada. Tempat ini adalah tempat terindah yang pernah aku kunjungi, aku begitu nyaman dengan segala bentuk biologis atau non biologis di tempat ini; manusia, tetumbuhan, sejarah, budaya dan bahasa, untuk hal terakhir itu, aku mempelajarinya dengan sangat intens. Tempat ini juga memiliki akar sejarah kehidupanku. Terutama bagi kedua orang tuaku. Tempat ini ingin aku jadikan rumah bagi hatiku. Tempat cintaku tumbuh subur dan berakar kokoh. Namun begitu kenyamanan hati dan keinginan hati itu tidak mudah aku wujutkan bahkan mustahil. Rumah yang seharusnya menjadi tempat kenyamanan hati ini nyatanya bukan disini, bukan di tempat ini, rumah itu ada di tempat yang malaha tidak mempunyai akar sejarah kehidupanku, terutama kedua orang tuaku. Walaupun aku terlahir dan menghabiskan masa balitaku ditempat itu, aku tidak merasakan ruh sebagai penguhuni tempat itu, atau mungkin memang aku belum mendapatkan ruh tersebut, entahlah. Yang pasti, mau tidak mau, tempat itu harus jadi tempatku menyusun strategi bertahan hidup. Tempat itu adalah tempat dimana hati galauku berlabuh, berjuang lalu kemudian MATI.

Teman temanku tersayang.

Seperti yang telah aku katakan, ingin rasanya aku menemani kalian disini dan membesarkan rumah dimana hatiku, juga hati kalian semua, tidak menjadi galau, menjadi kokoh dan kuat seperti rumah itu sendiri. Namun aku tidak bisa. Waktuku telah habis dan saatnya bagiku untuk pulang kerumah, rumah yang harus aku ciptakan ruhku di dalamnya. Aku mengerti ini berat bagiku, apakah ini juga berat bagi kalian semua? Aku harap begitu. Setelah semua yang kita jalani bersama, merangkai mimpi kita bersama, berjanjilah untuk tetap menyayagiku sebagai teman dihati kalian semua. Ingatlah pada suatu ketika dimana kita saling tertawa lepas, aku rasa hanya kali itu saja bersama kalian aku tertawa selepas seperti tanpa batas. Ingatlah teman,kalianlah teman temanku tersayang.

Teman-temanku tersayang.

Sudah saatnya aku meminta maaf pada kalian semua atas segala tingkah polahku yang terkadang membuat kalian jengkel, mungkin aku memang punya bakat alami untuk membuat orang merasa jengkel. Aku pun telah memaafkan kalian. Sudah saatnya aku berterimakasih pada kalian atas segala nasehat dan tutur kata dari tindak-tanduk kalian semua.Tanpakalian mungkin sampai sekarang aku masih seorang primitif yang tak tahu caranya untuk maju, meskipun aku tak mau melepaskan semua keprimitifanku. Dan Sudah saatnya aku mengusap air mata ini dan tersenyum optimis seraya mengatakan “Teman-temanku tersayang, sampai bertemu lagi di lain kesempatan dan di lain penampilan, maaf reuni kali ini aku tak bisa datang”.

“Uttama Si Yen Sira Akalisa Rin Pati, Sampuraha Rin Tiwas3.”

Ahmat alimran Pare, 27 may 2011.

Catatan:

1. Pasak bumi, disini, bukanlah semacam tumbuhan yang digunakan sebagai obat herbal.

2. Penulis itu ialah Yuni Pramudha Ningrat lulusan brawijaya malang ini sedang melanjutkan studinya di salah satu Negara di Eropa. 3. Diambil dari DASHA SHILA SUTASOMA sila ke delapan dan sembilan karya empu Tantulan yang artinya kurang lebih “Adalah yang terbaik, jika kau tidak takut mati dan bersabar dalam keadaan susah”

4. Tulisan ini mengambil judul yang sama dengan tulisanya Yuni Pramudha Ningrat. Yang dimuat di Majalah Horison edisi November 2008